Temannya yang dipanggilnya Nur tadi ialah Sitti Nurbaya, anak Baginda Sulaiman, seorang saudagar kaya di Padang, yang mempunyai beberapa toko yang besar-besar, kebun yang lebar-lebar, serta beberapa perahu di laut, untuk pembawa perdagangannya melalui lautan. Anak irii pun seorang gadis, yang dapat dikatakan tiada bercacat, karena bukan rupanya saja yang cantik, tetapi kelakuan dari adatnya, tertib dan sopannya, serta kebaikan hatinya, tiadalah kurang daripada kecantikan parasnya.
Oleh sebab ia anak seorang yang kaya dan karena ia cerdik dan pandai pula, ia disukai dan disayangi pula oleh teman-temannya. Hanya ayahnya, bukan seorang yang berasal tinggi, sebagai Sutan Mahmud Syah, penghulu yang tinggal di sebelah rumahnya. Sungguhpun demikian, penghulu dan saudagar ini bukannya dua orang yang bersahabat karib saja, tetapi adalah sebagi orang yang bersaudara kandung. Hampir setiap hari saudagar Baginda Sulaiman datang ke rumah Penghulu Sutan Mahmud Syah. Kalau tidak, tentulah penghulu itu datang ke rumah saudagar ini. Jika seorang mempunyai makanan, tak dapat tiada diberikannya juga sebahagian kepada sahabatnya. Barang sesuatu yang akan diperbuatnya dirundingkannya lebih dahulu dengan karibnya.
Oleh sebab itulah. Samsulbahridan Nurbaya tiada berasa orang lain lagi, melainkan serasa orang yang seibu sebapak keduanya. Istimewa pula, karena mereka masing-masing anak yang tunggal tiada beradik, tiada berkakak. Dari kedi, sampai kepada waktu cerita ini dimulai, kedua remaja Itu belumlah pernah bercerai barang sehari pun: boleh dikatakan makan sepiring, tidur sebantal.
Bagaimanakah hal kedua anak muda ini kelak, apabila datang waktunya.Samsulbahri harus berangkat meninggalkan kampung halamannya dan ibu bapa serta handai tolannya? Nantilah akan diceritakan betapa berat perceraian itu.
Tadi telah dikatakan, tatkala Samsulbahri sampai ke rumahnya, ayahnya sedang bercakap-cakap dengan seorang jamu di serambi muka. Orang ini masuk bilangan sahabat penghulu itu juga, sebab ia acap kali kelihatan makan minum di sana. Menurut air muka dan rambutnya yang telah putih ditumbuhi uban, nyatalah ia tiada remaja lagi. Akan tetapi, walaupun ia telah tua, badannya masih sempurna, kukuh dan sehat, karena ia seorang yang mampu.
Itulah Datuk Meringgih. saudagar Padang yang termasyhur kayanya sampai ke ncgcri-ncgcri lain. Pada masa itu. di antara saudagar-saudagar bangsa Melayu di Padang, tiada seorang pun dapat melawan kekayaan Datuk Meringgih Ini. Hampir sekalian toko dan rumah yang besar-besar di Pasar Gedang adalah kepunyaannya. Hampir sekalian tanah di Padang, tertulis di atas namanya. Sawahnya beratus piring dan kebunnya beratus bahu. Hampir sekalian perahu yang berlabuh di Muara ada di dalam tangannya. Sekalian rotan dan damar, serta hasil hutan yang lain-lain, yang datang dari Painan dan Terusan masuk ke dalam tempat penyimpanannya. Berkapal-kapal kelapa keringnya, yang dikirimkannya ke Benua Eropah. Bergudang-gudang barang-barang yang dipesannya dari negeri lain-lain.
Siapakah yang tiada mengenal namanya? Sampai ke Singapura dan Melaka Datuk Meringgih diketahui orang. Tak ada seorang bangsa Eropah atau Cina. Arab atau Keling yang kaya dan berpangkat di Padang, yang tiada bersahabat dengan dia. Ia pun sangat pula merapati mereka, tcrlcbih-lebih yang berpangkat tinggi. Adakah maksudnya berbuat demikian? Atau sebab memang ia seorang yang baik budi? Kelak akan kita ketahui juga hal ini.
Sungguhpun Datuk Vleringgih seorang yang kaya raya, tetapi tiadalah ia berbangsa tinggi. Konon kabarnya, tatkala mudanya, ia sangat miskin. Bagaimana ia boleh menjadi kaya sedemikian itu, tiadalah seorang juga yang tahu, lain daripada ia sendiri. Suatu sifat yang ada padanya, yang dapat menambah kekayaannya itu. adalah ia amat sangat kikir. Perkara uang sesen, maulah ia rasanya berbunuhan. Jika ia hendak mengeluarkan duitnya, dibolak-balikkannya dahulu uang itu beberapa kali, sebagai tak dapat ia bercerai dengan mata uang ini. seraya berkata dalam hatinya, "Aku berikanlah uang ini atau tidak?" Hanya untuk suatu perkara saja ia tiada bakhil, yaitu untuk perempuan. Berapa kali ia telah kawin dan bercerai tiadalah dapat dibilang. Hampir dalam tiap-tiap kampung, ada anaknya. Tiada boleh ia melihat perempuan yang cantik rupanya, tentulah dipinangnya. Walaupun ia harus mengeluarkan uang seribu rupiah sekalipun, tiadalah diindahkannya asal sampai maksudnya. Kebanyakan perempuan yang jatuh ke dalam tangan Datuk Vleringgih ini semata-mata karena uangnya itu juga. Sebab lain daripada itu. tak ada yang dapat dipandang padanya. Rupanya buruk, umurnya telah lanjut, pakaian dan rumah tangganya kotor, adat dan kelakuannya kasar dan bengis, bangsanya rendah, pangkat dan kepandaian pun tak ada selain daripada kepandaian berdagang. Akan tetapi, karena kekuasaan uangnya, yang tinggi menjadi rendah, yang keras menjadi lunak dan yang jauh menjadi dekat.
Bukankah besar kekuasaan uang itu? Tentu, apakah yang lebih daripada uang? Dunia ini berputar mengelilingi uang. Sekaliannya wujudnya uang.
"Hai. telah pukul satu!" demikian kata Sutan Mahmud tatkala dilihatnya anaknya pulang dari sekolah.
"Sudah setengah dua." jawab Datuk Meringgih. setelah melihat arlojinya, yang besar, yang berantaikan pita berpintal dari kantung atas bajunya.
"Jadi Engku Datuk beri pinjam hamba uang yang 3.000 rupiah itu?" tanya Sutan Mahmud.
“Tentu," jawab Datuk Meringgih dengan pastinya.
Tetapi apakah yang akan hamba berikan kepada Engku Datuk untuk jadi andalan?" tanya Sutan Mahmud.
“Tidak apa-apa. Hamba percaya kepada Tuanku Penghulu, karena Tuanku bukan baru hamba kenal. Jika orang lain, tentu hamba minta jaminan."
"Bukan begitu." kata Sutan Mahmud pula. "Hamba banyak meminta terima kasih kepada Rngku Datuk, sebab percaya pada hamba, tetapi utang harus ada tandanya. Bila besok lusa hamba meninggal dunia sebelum utang itu lunas dibayar, bagaimanakah? Oleh sebab itu. kelak akan hamba kirimkan kepada Engku Datuk, suatu surat perjanjian, bahwa rumah hamba ini dengan tanah-tanahnya, telah hamba gadaikan kepada Engku dengan harga 3.000 rupiah."
"Mana suka Tuankulah: sekarang hamba minta diri dahulu, sebab Tuanku tentulah sudah lapar," jawab Datuk Meringgih.
' Tidakkah Engku Datuk makan di sini?" tanya Sutan Mahmud.
"Tak usah, kemudian marilah," jawab Datuk Meringgih pula, sambil berdiri.
Kedua mereka kelihatan berjabat tangan, lalu Datuk Meringgih turun dari atas rumah itu dan naik ke atas keretanya. Seketika lagi, hilanglah ia dari mata Sutan Mahmud.
Waktu itu kelihatan Sutan Mahmud menarik napasnya, sebagai terlepas daripada sesuatu bahaya, lalu masuk ke dalam rumahnya, sambil berkata. "Kalau tak dapat kupinjam padanya, tentulah aku akan terpaksa menjual sawah pusaka. Untung benar! Kepada Baginda Sulaiman, tak hendak kupinta tolong. Segan aku, kalau-kalau ia tak mau dibayar kembali.”
Tatkala ia sampai ke dalam rumahnya, kelihatan olehnya Samsulbahri baru keluar dari dalam biliknya dan telah memakai baju Cina putih dan celana genggang.yang baru dikenakannya; penukar pakaian sekolahnya.
Setelah dilihat Samsu ayahnya, lalu dihampirinya orang tuanya itu, seraya berkata. "Kalau Ayah izinkan, hamba hendak pergi esok hari bermain-main ke Gunung Padang."
"Dengan siapa?" tanya Sutan Mahmud.
"Dengan si Arifm dan si Bakhtiar dan barangkali juga dengan si \urbaya." jawab Samsu.
"Dengan si Nurbaya?" tanya Sutan Mahmud pula, sambil berpikir. "Baiklah, tetapi hati-hati engkau menjaga dirimu dan si Nurbaya! Jangan sampai ada alangan apa-apa dan jangan berlaku yang tiada senonoh."
"Baiklah, Ayah," jawab Samsu.
Post a Comment for "Baginda Sulaiman, seorang saudagar kaya di Padang"